Posted by : heny rahmawati
Minggu, 13 November 2016
Westernisasi
merupakan jalan yang terbaik untuk mengendalikan meluapnya gerakan di
antara kaum muslimin.~ C. Snouck Hurgronje, Colijn over Indie,
(Amsterdam, 1928)
Politik Etis dan Ide Asosiasi
Pada
masa peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 politik ethis berkembang
hampir bersamaan dengan, dan dimungkinkan oleh, arah baru di dalam
politik kolonial partai-partai Belanda; arah baru itu biasanya disebut
dengan nama politik kolonial daripada pendidikan moral. Sehubungan
dengan arah baru di dalam politik kolonial itu, maka tugas kolonial
selanjutnya dipandang sebagai suatu missi kebudayaan yang bersifat
moral, sedang “politik mencari keuntungan” telah ditinggalkan. Cita-cita
yang ideal ialah “memasukkan rakyat Indonesia ke dalam orbit kebudayaan penguasanya, supaya mereka memiliki peradaban Barat“
Politik ethis juga disebut dengan nama
politik paternalisasi atau perlindungan, karena rakyat Indonesia lebih
dianggap sebagai objek daripada sebagai partisipan yang aktif di dalam
pemerintahan. Peranan bangsa Indonesia tetap pasif dan seperti apa yang
dikatakan oleh Boeke, sebuah pemerintahan “Chez vous, sur vous, saus vous”.
Jalan yang ditempuh oleh politik ethis
paralel dengan ide asosiasi. Yang menjadi dasarnya ialah persatuan dan
koperasi di antara anasir-anasir yang berbeda-beda di dalam masyarakat
kolonial. Cita-cita kaum asosiasionis menghendaki supaya penjajah dan yang dijajah itu bertindak sebagai teman, sehingga semua rintangan yang berupa perbedaan ras akan dapat dilenyapkan.
Menurut anggapan mereka, waktunya belum
cukup masak untuk merealisasikan suatu asimilasi yang mencakup persamaan
secara mutlak. Ikatan solidaritas hendaknya dapat diterima. Peradaban
Barat hendaknya terbuka bagi penduduk pribumi, janganlah hendaknya
dipakai sebagai alat untuk menipu mereka. Orang-orang Barat hendaknya
berkenalan dengan kebudayaan Timur. Selanjutnya kooperasi antara negeri
induk dan tanah jajahan harus dilaksanakan atas dasar saling menghargai
sifat dan tabiat mereka masing-masing, sehingga anasir-anasir yang
beraneka ragam di dalam masyarakat Indonesia dapat hidup bersama-sama
secara harmonis di dalam kerangka persatuan yang besar: Hindia Belanda.
Cita-cita politiknya ialah memberi tempat yang sama kepada semua warga Hindia Belanda. Untuk maksud itu dibutuhkan suatu ikatan yang kuat, yang hanya dapat diwujudkan kalau kekuasaan Belanda tetap kuat. Menurut kaum asosiasionis adalah tugas Negeri Belanda yang dipaksakan oleh sejarah untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban serta menghormati pemerintah.
Lawan-lawan politik asosiasi dari pihak
Indonesia menyatakan, bahwa di dalam kerangka itu supremasi Belanda
mendapat garansi yang kuat dan dapat dipertahankan. Lagi pula cita-cita
kaum asosiasionis tidak sesuai dengan gerakan untuk mendapatkan otonomi
dan kemerdekaan. Para kritikus Belanda yang konservatif menyatakan,
bahwa yang dimaksud dengan asosiasi adalah suatu penyeleksian pada segolongan kecil individu untuk ditingkatkan pada taraf kultural dari peradaban Barat.
Karena alasan itulah politik asosiasi disebut juga politik aristokratis
dan tidak akan berhasil, karena ia mengasingkan masyarakat Indonesia
sebagai suatu keseluruhan. Pernyataan kritikus-kritikus yang lebih
progresif lagi ialah bahwa kaum asosiasionis memberikan dasar bagi
unifikasi, selama penduduk belum cukup matang untuk asimilasi. Karena
itu yang menjadi tujuan kultural dari politik asosiasi ialah penyebaran
kebudayaan Belanda pada umumnya dan perluasan pengajaran bahasa Belanda
pada khususnya.
Sebagai reaksi, baik terhadap propaganda
yang bersifat revolusioner maupun terhadap pernyataan Gubernur Jenderal
Van Limburg Stirum (1916-1921), dan juga dengan maksud untuk
merealisasikan ide asosiasi, maka didirikanlah sebuah partai asosiasi
Belanda, yang diberi nama Politiek Economische Bond (PEB).
Tujuannya ialah untuk mewujudkan suatu bangsa Hindia dengan jalan
kooperasi dengan rakyat pribumi di bawah pimpinan Belanda. Jadi PEB
menentang gerakan “Bebas dari Holland”, maupun gerakan nonkoperasi. Pada
prinsipnya PEB bukanlah menghendaki demokrasi yang murni dengan hak-hak
yang sama, dan ia juga mendukung ide paternalisasi atau perlindungan.
Pada tahun-tahun berikutnya aliran
tersebut terdesak ke sudut ketika arah perkembangan politik kolonial
menunjukkan makin tajamnya pertentangan-pertentangan kepentingan dan
kesadaran nasional makin mendalam sebagai akibat dari diskriminasi ras.
Lebih-lebih politik Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang ingin
mendahulukan kepentingan penduduk pribumi daripada golongan-golongan
lainnya, makin memperlemah politik asosiasi.
Sebagai protes dari gabungan partai-partai terhadap politik itu, maka didirikanlah Vaderlandsche Club
(VC), yang merupakan front kulit putih. Tujuannya ialah tetap
mempertahankan pimpinan Belanda di Indonesia dan memperkuat
ikatan-ikatan antara Indonesia dan Negeri Belanda, supaya kepentingan
golongan-golongan Belanda di bidang ekonomi, sosial, dan finansial dapat
terjamin. Pembentukan VC sebagai partai Eropa yang bersifat eksklusif
merupakan suatu manifestasi dari arus konservatif di dalam politik
kolonial Belanda. Sesuai dengan tujuannya, maka harus dibentuk Nederland Raya dengan Indonesia sebagai negara bagian yang berstatus otonom dari Kerajaan Belanda.
Selama penduduk belum cakap untuk mengambil alih pemerintahan di dalam
segala bidangnya, maka negeri induk tidak akan menyerahkan supremasinya.
Tidaklah dibenarkan, bahwa proteksi Belanda akan dihapuskan. Tindakan
itu dikatakan oleh Treub “membahayakan perdamaian dunia”. Cita-cita ini
selaras dengan anggapan bahwa penduduk pribumi belum cukup masak untuk
memegang pemerintahan sendiri, mereka masih jauh dari itu. VC menolak
semua usul yang menuntut diadakannya perubahan-perubahan dan
menginginkan kembalinya situasi tahun 1900, yaitu berlakunya sistem
pemerintahan yang otokratis. Dengan demikian berarti VC memandang rendah
kekuatan nasionalisme.
Perlu diterangkan di sini, bahwa Vaderlandsche Club
dituduh oleh lawan-lawannya telah ditunggangi oleh kaum kapitalis dan
selalu siap untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Tuduhan
itu mempunyai dasar yang kuat dengan adanya isu tentang didirikannya
Fakultas Indologi di Utrecht, yang seluruhnya dibiayai oleh
Ondernemersbond dan oleh perusahaan-perusahaan besar. Reaksi dan kritik
yang hebat dilancarkan oleh dua golongan, yaitu dari apa yang disebut
Stuwgroep dari golongan Universitas Leiden. Sebelum kita membicarakan
kedua aliran filsafat kolonial itu, baiklah kita meninjau ide-ide
konservatif lainnya.
Pandangan Colijn hampir sama dengan
Treub, yaitu tidak mengakui adanya persatuan Indonesia dan kemampuan
rakyat untuk berdikari. Ia berpendapat, bahwa orang tidak dapat meyakini
kapan datangnya waktu yang cukup masak untuk memberi otonomi kepada
mereka.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang
esensial antara Timur dan Barat, Colijn mengingatkan, bahwa sifat Timur
asli akan dipertahankan; terutama ia menekankan bahwa rakyat Timur tidak
mempunyai kecakapan untuk melaksanakan otonomi. Ia menyetujui ide
tentang hubungan yang kekal antara Indonesia dan Negeri Belanda, seperti
ide aliran Leiden. Tetapi Colijn ingin mempererat hubungan itu dengan
ikatan-ikatan materiel, sedang aliran Leiden lebih mengutamakan
ikatan-ikatan spiritual. Sebagai seorang juru bicara dari sebuah partai
agama yang sangat berpengaruh, yaitu Anti Revolutionaire Partij,
ia menyatakan di dalam nada keagamaan, bahwa “politik kolonial tidak
akan diorientasikan secara langsung kepada perpecahan dari apa yang
telah dipersatukan oleh takdir Ilahi”. Politik Colijn itu dapat
dipandang sebagai contoh yang tepat dari suatu politik kolonial Belanda
yang konservatif.
Dalam hubungan ini orang akan teringat
kembali kepada sebuah contoh dari sifat konservatif yang telah
dibicarakan di muka, terutama Colijn mengingkari eksistensi bangsa
Indonesia dan kesatuan rakyat yang bersifat organis. Menurut Colijn
kesadaran yang ada hanyalah apa yang disebutnya suatu
kesadaran-kepulauan. Dengan demikian, maka sudah cukup jelas, bahwa
Colijn tidak mempunyai pengertian yang cukup tentang nasionalisme,
sehingga mudahlah bagi kritikus-kritikusnya untuk merobohkan cara
pemikirannya yang tidak realistis itu.
Aspek yang paling mencolok dari
konservatisme Colijn ialah konsepsinya mengenai kemerdekaan Indonesia.
Di dalam opininya kemerdekaan Indonesia harus ditetapkan oleh penjajah.
Pihak penjajah juga yang menentukan kecepatan perkembangan koloni dan
lamanya periode pemerintahan kolonial.
Nama Stuwgroep diambil dari
sebuah majalah yang bernama De Stuw. Golongan ini terdiri atas kaum
intelektual Eropa, yang sebagian besar menduduki jabatan-jabatan tinggi
di dalam pemerintahan kolonial dan memperoleh pendidikan di Leiden.
Perkumpulan ini menyatakan dirinya sebagai sebuah perkumpulan yang
nonpolitik. Dasar cita- citanya ingin mengubah masyarakat kolonial
menjadi masyarakat yang merdeka yang berjuang untuk mencapai persamaan
dengan bagian-bagian lain dari dunia ini. Menjadi kewajiban kolonial
yang utama untuk memajukan koperasi dan solidaritas di antara
golongan-golongan yang ada. Dibayangkan, bahwa politik emansipasi pada
akhirnya harus menelurkan otonomi di dalam lingkungan Common- wealth
Hindia yang merdeka. Ternyata bahwa Stuwgroep tidak mendiskusikan
tentang ritme, waktu, dan tidak menjalankan politik aktif. Persamaan
yang jelas dengan Vaderlandsche Club ialah, bahwa Stuwgroep juga
menginginkan terwujudnya ikatan-ikatan yang permanen antara negeri
Hindia dan Negeri Belanda.
Dibandingkan dengan Vaderlandsche Club
tentu saja Stuwgroep lebih progresif dan luas pandangannya. Stuwgroep
tidak menjalankan kampanye yang merusak dengan menggunakan slogan-slogan
yang chauvinistis. Sebagai tambahan perlu diterangkan, bahwa Stuwgroep
tidak mengikuti ide asosiasi, pandangan ini dimiliki oleh VC. Sikap
mereka terhadap masalah missi peradaban yang besar adalah negatif.
Seperti dikatakan oleh Bousquet: “De Stuw lebih condong apabila Belanda
tidak mengulurkan tangannya, karena De Stuw mempunyai pikiran, bahwa
uluran tangan Belanda telah mengekang Hindia terlalu erat pada masa yang
silam.
Untuk mengerti perkembangan aliran
ideologi kolonial tersebut dengan lebih baik, maka kita harus menyusur
kembali ke asalnya di Universitas Leiden, tempat Snouck Hurgronje
mengasuh mata pelajaran politik bagi pegawai-pegawai sipil kolonial
untuk masa lebih dari dua dasawarsa. Dia sangat terkenal sebagai bapak
ide asosiasi, yang berkembang pada permulaan abad sekarang ini. Yang
penting ialah keyakinannya bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia
merupakan suatu keharusan. *C. Snouck Hurgronje, Colijn over Indie,
(Amsterdam, 1928) : Menurut kenyataan, konsepsinya mengenai politik
kolonial dihubungkan dengan ajaran Islam di Indonesia. Menurut dia
Westernisasi merupakan jalan yang terbaik untuk mengendalikan meluapnya
gerakan di antara kaum muslimin.
Golongan lain yang pandangannya mendekati
Stuwgroep ialah Leidsche Groep, yang juga mendukung politik yang
bertujuan memberi status otonomi kepada Hindia Belanda, dan mendasarkan
diri pada demokrasi dalam arti yang luas. Golongan ini memegang pimpinan
dalam gerakan “Hindia- Bebas dari Holland”. Ia mengusahakan pengertian
kolonial berlandaskan fondamen-fondamen Timur. Mereka mengetahui, bahwa
anasir-anasir yang beraneka ragam pada masyarakat Indonesia mempunyai
ciri-ciri yang sama di dalam lingkungan supremasi Belanda. Di samping
itu golongan ini mengakui juga, bahwa rakyat Indonesia mempunyai ikatan
politik yang baru dan penting, dan mengakui bahwa ikatan tersebut tumbuh
secara teratur dan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan lagi di
dalam kehidupan politik Hindia Belanda.
Dari sudut pandangan lawan-lawan mereka
–golongan Utrecht, yang meliputi golongan pangusaha—golongan Leiden itu
dikatakan mempunyai cita-cita ethis yang menyimpang dari realitas.
Pendidikan di Leiden tidak mengajar para mahasiswanya untuk mengadakan
perbedaan yang jelas antara teori-teori ethis dan
kemungkinan-kemungkinan praktis yang aktual. Praktek kolonial tidak akan
dikorbankan untuk teori yang muluk-muluk. Di dalam kritik mereka
golongan Utrecht selanjutnya mengatakan, bahwa kepen- tingan umum dari
negeri dan dari semua golongan akan diperhatikan. Suatu emansipasi total
yang bersifat prematur hanya akan menganggu apa yang disebutnya evolusi
yang tenang
Dari keterangan tersebut jelaslah, bahwa
Leiden dapat dianggap sebagai eksponen yang idealistis dari kolonialisme
Belanda, sedang golongan Utrecht mewakili golongan materialistis. Di
dalam pertentangan ini, Colijn sebagai pemimpin Anti-Revolutionaire
Partij menduduki tempat di tengah- tengah.
Ide Sintesis
Dengan adanya publikasi raksasa de Kat
Angelino, maka lahirlah pendekatan baru terhadap masalah-masalah
kolonial kemudian terkenal sebagai Ide Sintesis. Dia sadar sepenuhnya,
bahwa ada persoalan kolonial yang besar yang harus diselesaikan. Dia
mencari penyelesaiannya juga di dalam politik emansipasi kolonial dengan
jalan membentuk Nederland Raya. Maksudnya—seperti dikatakannya sendiri
—”mewujudkan masyarakat yang hidup secara organis dari semua rakyat di dalam lingkungan Negeri Belanda.
Seperti halnya dengan penulis-penulis
atau ahli-ahli pikir sebelumnya de Kat Angelino menunjukkan, bahwa
konsepsi kolonisasi dengan jalan menguasai atau menaklukkan sudah
ketinggalan zaman. Sementara itu dunia kolonial di dalam kenyatannya
tetap merupakan “sebuah kamar kanak- kanak yang mutlak harus ada
babunya”. Dia tidak setuju dengan Kipling dan menyatakan bahwa Timur dan
Barat dapat bekerja sama sebagai manifestasi solidaritas kemanusiaan
atau panhumanisme. Peranan Barat bukanlah untuk mendesak Timur, tetapi
untuk mengembangkan serta memajukannya. Barat dapat memberi kekuatan
moral dan spiritual untuk memberi nafas kepada evolusi Timur, jadi
mewujudkan kerja sama Timur—Barat yang selaras, dengan jalan menghargai
sifat masing-masing di segala bidang. Faktor yang merintangi ide
sintesis ini ialah perbedaan warna kulit.
Politik kolonial wajib memajukan sintesis
ini dan memenuhi panggilan kepemimpinan Barat, terutama kewajiban
moral, bukan hanya sekadar untuk mempertemukan Timur dan Barat,
melainkan juga untuk membangun suatu masyarakat yang harmonis dengan
Timur dan Barat sebagai komponen-komponennya. Menurut de Kat Angelino
politik kolonial Belanda harus meninggalkan prinsip politik tak campur
tangan dalam hal-hal tradisional secara keseluruhan, dan sebagai
gantinya menerima politik sintesis dengan ketiga prinsipnya, yaitu
memberi perlindungan, mengadakan konsolidasi kebudayaan Indonesia, dan
mengadakan penyesuaian dengan perkembangan dunia modern.
Telah kita ketahui, bahwa ideologi
kolonial makin dipandang sebagai masalah hubungan Timur—Barat yang
paling luas. Hubungan itu ditinjau berdasarkan anggapan, bahwa peradaban
Barat itu lebih tinggi dan berbeda sekali dengan kebudayaan Timur.
Pemikiran tersebut mengingatkan kita kepada Eropa-sentrisme yang
merajalela di dalam filsafat dan sejarah kolonial. Selanjutnya, cara
pemikiran tersebut dapat juga dipandang sebagai rasionalisasi politik
kolonial yang menginginkan paternalisasi dan perlindungan-perlindungan
kolonial di dalam hubungan kolonial.
Ideologi kolonial di dalam segala
manifestasinya terbukti dipengaruhi oleh pola pemikiran yang bersifat
Eropa- sentris, yang di dalam terminologi politik kolonial dinyata-kan
sebagai kepemimpinan Barat, politik kewajiban moral, politik ethis,
politik perlindungan, dan seterusnya.
Meskipun kata eksploatasi tidak
dipergunakan lagi, tetapi ideologi kolonial tetap ditentukan oleh sifat
kolonialisme yang eksploatatif. Bentuk yang diwujudkan untuk
merasionalisasikan dan membenarkan kolonialisme menunjukkan adanya
kesadaran, bahwa kolonialisme merupakan bagian dari filsafat kebudayaan
yang lebih luas.
* Kutipan Buku : Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL Dari Kolonialisme Sampai
Nasionalisme, Jilid 2 , Sartono Kartodirdjo, PENERBIT PT GRAMEDIA
PUSTAKA UTAMA, JAKARTA , 1993 . Halaman 49 – 57https://serbasejarah.wordpress.com/2014/08/20/kutipan-buku-ideologi-kolonial-belanda/