Posted by : heny rahmawati
Minggu, 13 November 2016
Selama
sepekan, tanggal 17 sampai 24 Juni 1916, di alun-alun Bandung seperti
ada pasar malam. Bukan pasar malam sebenarnya yang sedang berlangsung,
melainkan Kongres Sarikat Islam.
Panitia Kongres bertekad membuat waktu
itu juga menjadi pekan untuk berpesta. Seluruh alun-alun dipajang, tarup
pesta yang besar dibangun, dimana dibuka buffet untuk jualan makanan
dan minuman yang dapat mengelus-ngelus lidah. Gubuk-gubuk dibangun
berderet dalam garis yang rapih, dimana dipamerkan dan dijual
macam-macam barang kerajinan rakyat. Hasil bersih dari usaha itu akan
didarmakan kepada Sekolah Agama Islam yang belum berselang lama
didirikan.
Para pengunjung yang akan datang, diduga
terdiri dari segala lapisan masyarakat, tidak kurang-kurang dari lapisan
atas. Karena itu penerimaan tamu jangan kurang menunjukan penghargaan
kepada pengunjung-pengunjung itu. Para ibu guru dari Sekolah Keutamaan
Putri dikerahkan untuk melayani tamu-tamu yang datang di buffet untuk
menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan. Dengan pakaian yang
rapih dan tindak-tanduk yang sopan serta hormat, para ibu guru itu
memperlihatkan kecantikan lahir dan batin, yang wanita-wanita
Parahiangan pandai benar melaksanakannya. Pekan itu sekaligus bukti,
bahwa wanita Indonesia, tidak ketinggalan dari saudaranya kaum pria
dalam perjuangan mencapai kemajuan, yang pada waktu itu sedang meliputi
kehidupan bangsa.
Tiap siang hari di alun-alun itu diadakan
perlombaan olah raga, sedang tiap malam diadakan pertunjukan bioskop
atau wayang. Penerangan alun-alun itu diatur sangat sempurna, sehingga
hampir tidak ada bedanya waktu siang dan malam. Malah malam lebih
menarik dengan lampion-lampion yang warna-warni, dan pajangan-pajangan
yang baru menarik di waktu malam.
Pada hari Minggu siang tanggal 18 Juni
diadakan pawai besar yang berjalan teratur melalui jalan-jalan raya
Bandung. Semula pawai itu juga akan membawa Bendera Turki. Tapi maksud
ini tidak dilaksanakan, berdasar larangan dari Assisten Residen.
Kongres Sarikat Islam yang berlangsung
pada pekan itu lengkapnya dinamakan Kongres Nasional Pertama Central
Sarikat Islam. Nama yang agak panjang ini tidak berlebihan dan tiap
perkataan ada artinya. Sudah lebih dulu Sarikat Islam mengadakan
Kongres, yang pertama di Surabaya, di tahun 1914. Tapi kongres itu
adalah Kongres Lokal Sarikat Islam.
Sarikat Islam, yang didirikan pertama di
Surakarta dalam tahun 1905, sangat menarik perhatian umum, sehingga
dilain-lain tempat orang juga ingin mendirikan perkumpulan-perkumpulan
dengan maksud dan tujuan yang sama. Izin baru diberikan oleh Pemerintah
Kolonial pada tahun 1912, atau lebih tepat baru disahkan sebagai badan
hukum (rechtspersoon) dalam tahun 1912. Dan badan hukum itu disahkan
hanya untuk Sarikat Islam setempat demi setempat atau secara lokal.
Kemudian baru tahun 1914 disahkan Central Sarikat Islam sebagai badan
hukum yang meliputi seluruh tanah air.
Karena itu, waktu diadakan kongres di
tahun 1916, maka kongres ini sudah meliputi Sarikat Islam di seluruh
Hindia Belanda, dan tepatlah dinamakan Kongres Nasional Pertama.
Nasional berarti dalam hubungan seluruh bangsa, tidak lagi setempat atau
lokal. Di kemudian hari ada pergerakan lain yang kalau mengadakan
kongres, kongres itu dinamakan dengan kata-kata seperti kongres Sarikat
Islam. Kongres Nasional Pertama Partai Komunis. Untuk partai ini
perkataan nasional dipakai untuk membedakan dari kongres internasional.
Partai Komunis adalah partai yang sifatnya internasional, yang periodik
mengadakan kongresnya. Kongres nasional bagi partai itu berarti terbatas
di dalam satu bangsa saja.
Kongres Nasional Pertama Central Sarikat
Islam ini dihadiri oleh 80 utusan dari Lokal Sarikat Islam dari Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Suatu jumlah yang pada waktu
itu sudah merupakan jumlah yang tidak kecil.
Kongres tersebut terdiri dari 3 macam rapat- Rapat pendahuluan pada hari Sabtu, tanggal 17 Juni 1916 dan rapat-rapat tertutup. Rapat-rapat ini hanya dihadiri oleh anggota dari Pimpinan Pusat, atau dengan nama yang dipakai waktu itu “Centraal Bestuur”
- Dua rapat terbuka di alun-alun, pada hari Minggu, tanggal 18 Juni dan Senin,19 Juni 1916, dimana tiap-tiap orang dapat datang dan mendengarkan pidato-pidato yang diadakan.
- Enam rapat di salah satu bangsal dari Societiet Concordia, yang hanya dapat dihadiri oleh para utusan dan anggota-anggota Sarikat Islam Lokal, serta undangan dan utusan dari pergerakan sahabat dan pers.
Yang paling penting dalam kongres itu,
bagi sejarah perkembangan politik di Indonesia, ialah pidato Ketuanya
Tjokroaminoto yang diucapkan pada rapat umum di alun-alun pada hari
Minggu tanggal 18 Juni 1916.
Pada hari Minggu pagi rakyat sudah mulai
datang berduyun-duyun di alun-alun Bandung. Di salah satu pojok dari
alun-alun itu didirikan podium dimana Panitia Kongres dan Pengurus
Centra Sarikat Islam mengambil tempat.
Pada saat yang ditentukan, maka datanglah
anggota-anggota Pengurus Central Sarikat Islam, dengan berpakaian rok,
yaitu celana hitam, jas buka hitam, bagian belakang panjang sampai di
lutut, dengan dasi putih. Meskipun iklim Bandung agak dingin, tapi
pakaian rok pasti masih sangat panas. Tapi begitulah rupa-rupanya
protokol di waktu itu masih dijunjung tinggi.
Beberapa bagian dari pidato Tjokroaminoto, yang seluruhnya makan waktu dua jam, yang dikutip disini :“Semakin lama, semakin tambah kesadaran orang, baikpun di Nederland maupun di Hindia, bahwa “Pemerintahan sendiri” adalah perlu. Lebih lama lebih dirasakan, bahwa tidak patut lagi Hindia diperintah oleh Nederland, seperti tuan tanah mengurus persil-persilnya. Tidak patut lagi untuk memandang Hindia sebagai sapi perasan, yang hanya mendapat makan karena susunya; tidak pantas lagi untuk memandang negeri ini sebagai tempay untuk didatangi dengan maksud mencari untung, dan sekarang juga sudah tidak patut lagi, bahwa penduduknya, terutama putera-buminya, tidak punya hak untuk ikut bicara dalam urusan pemerintahan, yang mengatur nasibnya”“Kita menyadari dan mengerti benar, bahwa mengadakan pemerintahan sendiri, adalah satu hal yang sangat sulit, dan bagi kita hal itu laksana suatu mimpi. Akan tetapi bukan impian dalam waktu tidur, tapi harapan yang tertentu, yang dapat dilaksanakan JIKA KITA BERUSAHA DENGAN SEGALA KEKUATAN YANG ADA PADA KITA, dan dengan memakai segala daya upaya melalui jalan yang benar dan menurut hukum”.“Di bawah Pemerintahan yang tiranik dan dholim, hak-hak dan kebebasan itu dicapai dengan REVOLUSI, sedang dari suatu pemerintahan yang bijaksana dengan EVOLUSI”.
Begitulah cerita di sekitar Kongres Nasional Pertama Centra Sarikat Islam 1916 di Bandung.
*Dicuplik dari buku “Bunga Rampai
Dari Sejarah Jilid I” Karangan Mohammad Roem yang diterbitkan oleh Bulan
Bintang Cetakan Pertama tahun 1972 dan cetakan keduanya tahun 1977.
https://serbasejarah.wordpress.com/2014/09/11/cerita-di-kongres-nasional-pertama-central-sarikat-islam-1916-di-bandung/